PAROKI SANTA PERAWAN MARIA PURWOREJO

PAROKI SANTA PERAWAN MARIA PURWOREJO

Jl. KH. Wahid Hasyim No. 1 Purworejo 54111
Jawa Tengah - INDONESIA
Telp: (0275) 325272

selamat datang di mading mafita purworejo



de Chox Choir - Bawalah Persembahan

Mimbar radio

Mimbar Agama Katolik dapat anda dengarkan di Radio Amatron 3 FM (106,5 FM) setiap hari Minggu, Pukul 20.00 WIB dan di Radio Irama FM (88,5 FM) setiap hari Selasa, Pukul 18.30WIB


Senin, 17 September 2012

Sejarah Lahirnya Paroki Purworejo

SELASA Kliwon 25 Oktober 1927 misa pertama yang dilakukan oleh Romo-romo dari Tarekat Hati Kudus (MSC) dilaksanakan di bekas ruang gambar sebuah rumah yang digunakan untuk kantor B.O.W (PUK) yang sudah dibentuk sedemikian rupa.  Di dalamnya terdapat altar dilengkapi beberapa bangku dengan berbagai macam ukuran, deretan kursi, dan Jalan Salib sehingga merupakan sebuah Gereja.

Misa pertama itu dilaksanakan sebanyak 2 kali pagi hari di Gereja dan 2 kali di rumah. Dalam Misa tersebut dibagikan 20 komuni. Itulah saat kelahiran Paroki Purworejo, karena pada saat itu, secara resmi Purworejo telah diresmikan oleh Misionaris Serikat Yesus kepada Misionaris Tarekat Hati Kudus (MSC) (Sejarah Paroki Santa Perawan Maria Purworejo. Keuskupan Purwokerto, 1993 : 11-12).

Perayaan itu merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan dari Konggregasi Suci "Propaganda Fide" di Roma tertanggal 3 Desember 1926, yanbg isinya menetapkan, para pastor dari Tarekat Hati Kudus ( Missionarii Ss. Cordis/MSC) diserahi tugas misioner di wilayah Purworejo-Kedu Selatan (bekas Karisidenan Bagelen), daerah Karisidenan Banyumas dan Pekalongan.
 Romo B. J. J Visser MSC 

Untuk melaksanakan keputusan tersebut, 3 orang pastor MSC, masing-masing Romo B. J. J Visser MSC sebagai Ketua Rombongan, Romo B. Thien MSC dan Romo M. de Lange MSC dari kota Tilburg Nederland, dengan kapal laut berangkat berlayar ke Pulau Jawa. Para Romo Tersebut berangkat tanggal 11 September 1926 dan untuk beberapa hari singgah di Roma, memohon restu Sri Paus Pius XI.(Suharto, R. Y. Sejarah Gereja Katolik Paroki Purworejo tahun 1920-1973, 1973)

Tanggal 21 Oktober 1927, para pastor MSC tersebut tiba di Pelabuhan Tanjungpriok Jakarta disambut Romo Van Offeren SJ dan terus menghadap Mgr. Van Valsen SJ, Uskup Batavia selaku pimpinan di seluruh Pulau Jawa dan Madura.

Setelah istirahat 3 hari, Perjalanan dilanjutkan dengan kereta api SS dan turun di Stasiun Kutoarjo. Waktu itu Kutoarjo masih merupakan Kabupaten sendiri, baru pada tahun 1936, Kabupaten Kutoarjo dihapus dan digabungkan masuk ke dalam Kabupaten Purworejo. Di stasiun kereta api Kutoarjo ketiga romo tersebut disambut Romo Schlattmann SJ, kemudian dengan mobil rombongan menuju ke Purworejo.

Kota Purworejo adalah sebuah kota yang dibangun pasca Perang Jawa (1825-1830). Pembentukannya dengan menggabungkan 2 buah kota, yakni Bagelen yang semula masuk dalam wilayah Kabupaten Tanggung danKedungkebo, kota militer yang dijadikan basis kekuatan militer Kompeni Belanda di Tanah Bagelen.(Penadi, Radix, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Bratayudha di Tanah Bagelen abad ke IX, 2000) Hingga awal abad ke XX Kota Purworejo menjadi Ibukota Karisidenan Bagelen dan di tata menurut tata kota modern abad ke XIX. Karena pertimbangan strategis, mulai 1 Agustus 1901, Karisidenan Bagelen dihapus dan digabungkan ke Karisidenan Kedu.

Purworejo yang berstatus sebagai ibukota karisidenan, sejak saat itu berubah menjadi ibukota kabupaten. Waktu itu Kabupaten Purworejo luasnya hanya 263 pal persegi atau kurang lebih 597.285887 km pesegi. Sedangkan wilayahsebelah barat Sungai Jali waktu itu masih masuk wilayah Kabupaten Kutoarjodan Kabupaten lain. Di dekat persimpangan jalan kira-kira 300 meter dari alun alun pusat Purworejo beberapa ratus meter dari kepatihan, terletaklah sebuah rumah berarsitektur Jawa yang dibangun tahun 1888. Rumah tersebut semula digunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (BOW) sebagai kantor, kemudian dibeli olah romo-romo Serikat Yesus. Setelah direnovasi si sana-sini, maka gedung itupun menjadi sebuah gedung yang "gagah, megah dan antik" dan dimanfaatkan sebagai pastoran,sedangkan bekas ruang gambar, setelah diubah sedemikian rupa dijadikan Gereja. Namun sebelum tanggal 25 Oktober 1927, pastoran hanya digunakan untukmenginap romo yang ditugaskan di Purworejo selama 3 sampai 4 hari dan terjadi sekali dalam 2 minggu.

Menurut catatan Romo BJJ Visser MSC, ketika ketiga romo memasuki halaman pastoran, mereka disambut oleh keluarga Schutz dan keluarga Van Drop, katekis Nyonya Stumpf dan 2 orang suku jawa, Fransiscus dan Lambertus bersama isteri.

Tak lama setelah itu, muncul tetangga depan, yakni Th. Jansen dan Th. Nardus, seorang guru. Disusul kemudian 5 orang anggota tentara suku Flores yang beragama Katolik, setelah itu menyusul sekitar 30 orang anggota pasukan tentara yang berseragam rapi, menyambut dan menengok romo baru. Demikian data yang diperoleh dari "De Missionarissen van het heilg harta naar Java" oleh Mgr BJJ Visser dikutip dalam sejarah Paroki Santa Perawan Maria.(Sejarah Paroki Santa Perawan Maria,1993)

Yang dimaksud anggota tentara suku Flores dalam catatan tersebut, kemungkinan besar adalah anggota Detasemen Serdadu Negro. Detasemen ini beranggotakan orang-orang Afrika. Mereka waktu itu bermukim di perumahan kompleks sekitar Gang Afrikan sekarang dan desa Doplang di dekat Rumah Sakit Umum. Itulah sebabnya wilayah tersebut disebut "Afrikan", yakni tempat orang Afrika berrmukim, sedangkan "Doplang" nama yang diberikan karena orang-orang Afrika anggota Detasemen Serdadu Negro tersebut berpostur tubuh tinggi, hal ini dalam bahasa Jawa disebut : "nDoplang".

Menurut RY Suharto, kehadiran para Romo MSC tersebut sudah ditunggu dan sekitar pukul 16.30 para Romo MSC memasuki Pastoran Purworejo, yang waktu itu sudah berstatus sebagai sebuah stasi sejak kedatangan 3 orang Romo MSC, maka setiap hari ada misa suci.

Setelah melakukan Misa Pertama, Romo BJJ Visser MSC bersam Romo Schlatmann SJ berkunjung ke rumah-rumah umat yang waktu itu sudah berjumlah ratusan. Bahkan menurut RY Suharto pada tanggal 11 Desember 1924, Romo M. de Lange memberikan komuni pertama kepada 7 anak Negro Afrika. Sejak peristiwa itu banyak anak Negro Afrika yang kembali ke Gereja.

Menurut data akhir tahun 1927, di Purworejo telah tercatat umat sebanyak 801 orang terdiri dari :
Warganegara Belanda : 517 (64,5%)
Warganegara asing/Tionghoa : 20 (2,5%)
Orang Jawa : 264 (33%)

Pada saat itu umat terdiri dari warga negara Belanda anggota tentara KNIL, guru sekolah, karyawan kantor perusahaan bank, PTT (Pos), Pandhuis, karyawan stasiun kereta api, hotel dan karyawan pabrik gula di Jenar. Dari golongan orang-orangJawa terdiri dari para guru Hollanch Inlandsche School (HIS), Standaard School, karyawan kantor serta siswa Hoogere Kweekschool (HKS)/Sekolah Pendidikan Guru.
 Pabrik Gula Jenar Purworejo
murid-murid kelas 6 HIS 1983

Tanggal 26 Oktober 1927, sehari setelah serah terima teritorial dan misa pertama dilaksanakan, Romo BJJ Visser MSC dan Romo de Lange MSC pergi ke Yogyakarta menghadap MGR Van Valsen SJ untuk berunding dan siang harinya kembali ke Purworejo dengan membawa ketentuan baru dalam perkembangan Gereja.

Maka sejak Selasa Kliwon tanggal 25 Oktober 1927, para Misionaris Tarekat Hati Kudus memulai berkarya di daerah baru mulai dari Purworejo yang dikemudian hari meluas kebagian barat Pulau Jawa.

Sumber : Buku "Kenangan Penuh Syukur 75 tahun Paroki Santa Perawan Maria Purworejo" hal. 47-50.

Kamis, 13 September 2012

Apa sih "MAFITA" itu?

Mungkin masih banyak dari Kaum Muda Katolik yang belum tahu apa sih "MAFITA" itu? kok ada mudika "MAFITA"? PIA "MAFITA"? kenapa memakai kata "MAFITA" bukan yang lain?
Disini kita akan membahas sedikit mengenai mengapa kita menggunakan nama "MAFITA". Kata "MAFITA" sebenarnya diambil dari menyingkat kalimat "MATRIS FILIO DICAITA" (teman teman bisa menemui tulisan itu di atas pintu masuk Gereja Santa Perawan Maria Purworejo). Pada umumnya, orang menterjemahkan kalimat itu secara mudah menjadi "Dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria, Bunda Allah". Dalam beberapa buku resmi yang pernah dibuat (misalkan buku kenangan Pasca Windu maupun 65 tahun Paroki), terjemahan itu pula yang digunakan. Padahal menurut tata bahasa yang benar, kalimat itu berarti "Dipersembahkan keada Putera (dari) Sang Bunda". Tekanan utama dari kalimat tersebut justru ada pada kata "Putera" sebagai yang dituju untuk menerima persembahan, sementara kata "Bunda" mau menjelaskan kata "Putera" itu sendiri.(pertanyaan "Putera siapa?" akan dijawab dengan "Putera dari Bunda!").

Kalau demikian, sebenarnya gereja ini dipersembahkan kepada Yesus sendiri. Hal itu lebih dipertegas kalau kita memperhatikan bahwa lukisan kaca asli yang dipasang diatas pintu utama adalah lukisan wajah Yesus. Setelah lukisan itu pecah diganti dengan kaca baru tapi gambarnya sudah berubah menjadi gambar Bunda Maria. Agaknya hal itu terjadi akibat kesalahan memahami kalimat tersebut.

Lalu apa hubungannya dengan nama pelindung "Santa Perawan Maria"? Pendiri gereja adalah imam - imam tarekat MSC yang berdevosi kepada Maria Bunda Hati Kudus. Peranan Maria dalam Gereja ingin ditonjolkan secara khas sehingga gereja ini dipersembahkan keada Anak dari Sang Bunda. Juga mau ditunjukan bahwa bagaimana pun juga, gereja ini pertama tama mau dipersembahkan kepada Sang Putera! Dengan kata lain, per Mariam ad Iesum : Melalui Maria sampai kepada Yesus.

Hal yang perlu diluruskan adalah bahwa pelindung Gereja Purworejo adalah Santa Perawan Maria. Hal itu tidak harus dihubungkan langsung dengan tulisan yang ada diatas pintu utama, yaitu "MATRIS FILIO DICAITA". Dengan demikian, kalimat itu pun tidak perlu dan tidak boleh dipaksakan dalam penterjemahannya demi mendukung nama pelindung itu.

Nah...! begitulah asal mula nama "MAFITA" yang kita gunakan sampai saat ini....:)


Sumber : Buku "Kenangan Penuh Syukur 75 tahun Paroki Santa Perawan Maria Purworejo" hal. 70